Oleh:
Mulyawan Safwandy Nugraha"
Pegiat Literasi, Pengelola Jurnal Ilmiah, Pendidik dan Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia.
Pagi ini, saya membuka jendela seperti biasa. Matahari pelan-pelan naik, angin tipis menyapu daun jambu di halaman. Tanggal di kalender menandai 20 Mei—Hari Kebangkitan Nasional. Tapi jujur saja, saya sempat bertanya dalam hati: masih perlukah kita merayakannya?
Dulu waktu sekolah, saya hanya tahu ini hari lahirnya Budi Utomo, organisasi pertama yang katanya menandai kebangkitan nasional Indonesia. Tapi maknanya, dulu terasa jauh. Sekadar hafalan buku sejarah. Baru ketika hidup mulai menampar dari berbagai arah, saya pelan-pelan paham: kebangkitan itu bukan cerita lama. Ia masih sangat kita butuhkan sekarang.
Budi Utomo berdiri tahun 1908. Didirikan oleh para pelajar STOVIA di Batavia—anak-anak muda yang memilih berpikir jauh ke depan. Mereka sadar: untuk merdeka, tak cukup hanya berjuang sendiri-sendiri. Butuh rasa senasib sepenanggungan. Butuh tekad untuk bangkit bersama.
Saya jadi ingat almarhum Kakek, seorang veteran tentara yang lahir di zaman penjajahan Belanda. Di usia tuanya, beliau masih suka bercerita soal zaman sulit. “Kami itu gak punya apa-apa, tapi semangat kami utuh,” katanya suatu malam. Waktu itu saya angguk-angguk saja, belum sepenuhnya mengerti. Maklum masih kecil. Tapi sekarang, tiap kali lihat pedagang kecil yang tetap tersenyum meski dagangan sepi, saya mulai paham apa maksud Kakek.. Allahumagfirlahu.
Zaman memang sudah berubah. Kita tak lagi dijajah bangsa asing. Tapi kadang rasanya kita masih dijajah hal lain: rasa takut, rasa pesimis, bahkan rasa curiga satu sama lain. Lihat saja di media sosial. Isinya seringkali bukan semangat, tapi saling serang, saling bully. Di tengah semua itu, saya merasa, Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni. Ia pengingat: bahwa kita pernah sepakat untuk bergerak bersama.
Kadang saya malu pada para pendiri bangsa. Mereka berjuang dalam keterbatasan, tapi pikirannya jauh ke depan. Sementara kita? Punya gawai, punya internet, punya AI, punya peluang, tapi kadang lebih sibuk membandingkan diri di Instagram/FB/X daripada membangun sesuatu yang nyata. Bahkan ada yang kena mental, jatuh motlbvasi dan baperan.
Ironis, ya?
Tapi saya tak ingin cuma mengeluh. Saya percaya, kebangkitan bisa dimulai dari hal sederhana. Dari guru yang tetap sabar di kelas meski digaji pas-pasan. Dari petani yang bangun sebelum subuh, meski harga panen tak seberapa. Dari siapa saja yang memilih jujur, meski jalan pintas ada di depan mata.
Saya bukan siapa-siapa. Hanya warga biasa yang coba hidup sebaik mungkin. Tapi saya ingin meyakinkan diri sendiri dan percaya, bahwa kalau kita mau menyalakan satu lilin semangat di tempat kita berdiri, Indonesia tak akan pernah gelap sepenuhnya.
Maka hari ini, di Hari Kebangkitan Nasional 2025, saya menulis ini. Bukan untuk menggurui, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: kita ini bagian dari bangsa besar. Dan bangsa besar, bukan berarti tak pernah jatuh. Tapi bangsa besar, adalah bangsa yang selalu memilih untuk bangkit. Lagi dan lagi.
Karena selama semangat itu masih ada—di rumah, di jalanan, di ruang-ruang kecil tempat orang jujur bekerja—Indonesia akan terus punya harapan.
Kita tak harus menunggu kebangkitan dengan perubahan besar. Mungkin cukup dengan menjaga semangat, setia pada nilai-nilai dasar, dan tidak menyerah meski kadang lelah. Sebab bangsa ini, seperti dulu, lahir dari tekad yang sederhana, tapi sungguh kuat.
Selamat Hari kebangkitan Nasional Tahun 2025.
Bandung, 20 Mei 2025
إرسال تعليق