(oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag)
Naskah ke 86
Ada apa dengan Dana BOS, guru honorer, dan sekolah 3T? Rapat Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025 bukan sekadar formalitas. Di balik ruang rapat Nusantara I yang (katanya) adem dan elegan, tercetus 7 catatan panas dari para narasumber: Majelis Pendidikan Kristen (MPK) dan Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Indonesia. Ternyata, masalahnya tidak main-main.
Masalah pertama: Dana BOS saat ini dianggap tidak adil.
Sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) malah dapat nominal
yang sama atau lebih kecil dari daerah kota besar. Ini gara-gara metode winsorization
dalam menilai BOS yang bikin hasilnya ekstrem dan tidak proporsional.
Solusinya? Kategori BOS harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesulitan
daerah. Dana BOS untuk daerah mahal harusnya lebih besar. Setuju?
Masalah kedua: Masyarakat kurang dilibatkan dalam pembiayaan pendidikan. Dana BOS jadi satu-satunya harapan, padahal bisa digabung dengan kontribusi lokal. Solusi yang diusulkan: BOS dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dan standar nasional pendidikan. Ini bukan sekadar angka, tapi tentang keadilan sosial.
Masalah ketiga: Sekolah swasta megap-megap! Mereka rentan
tutup karena kekurangan dana operasional. APBN bisa jebol kalau semuanya
negeri. Makanya, BOS juga harus naik untuk sekolah swasta, plus ada hibah
revitalisasi sarana-prasarana. Jangan diskriminatif. Sekolah swasta juga punya
peran besar!
Masalah keempat: Sertifikasi guru ruwet dan ruwet lagi.
Khususnya guru swasta, PAUD nonformal, dan guru di daerah 3T. Kendalanya?
Administrasi ribet, jaringan lemot, ijazah tersendat. Solusi yang ditawarkan
cukup masuk akal: sederhanakan sistem, dampingi prosesnya, dan samakan
perlakuan antara guru negeri dan swasta.
Masalah kelima: Pengakuan terhadap PAUD nonformal dan
pendidikan luar wilayah masih rendah. Padahal, banyak anak belajar di luar
jalur formal. Maka, RUU Sisdiknas harus mengakomodasi pendidikan jarak jauh,
nonformal, dan sistem desentralistik yang partisipatif. Jangan sampai yang
informal malah dimarjinalkan.
Masalah keenam: Guru-guru madrasah, guru swasta, dan honorer juga ingin kepastian! RUU Sisdiknas diminta menjamin perlakuan adil atas tunjangan, profesi, dan penghasilan. Jangan lagi ada dikotomi negeri vs nonnegeri. Guru tetap guru. Standar tunjangan harus diatur adil dan masuk akal.
Masalah ketujuh: RUU Sisdiknas masih abu-abu soal peran
pendidikan. Ada tumpang tindih antara pendidik dan pelaksana. Solusinya?
Perjelas definisi dan pastikan hanya tenaga bersertifikat yang boleh disebut
guru. Juga, jangan lupakan pentingnya madrasah dalam sistem pendidikan
nasional.
Dari semua ini, Komisi X DPR RI mencatat beberapa hal
penting. Mereka mendukung reformasi alokasi Dana BOS berbasis kebutuhan riil
daerah. Mereka juga mendukung regulasi penguatan untuk semua guru dan lembaga
pendidikan tak peduli label formal atau swasta. Semua masukan ini akan jadi
bahan pembahasan Panja RUU Sisdiknas.
Apa yang bisa kamu lakukan sekarang?
Pertama, sebarkan informasi ini ke guru, kepala sekolah, dan
pegiat pendidikan. Kedua, dorong partisipasi publik dalam pembahasan RUU
Sisdiknas. Ketiga, jika kamu guru honorer atau swasta, ini saatnya bersuara.
Jangan diam. Suaramu bisa jadi pengubah nasib.
Karena pada akhirnya, pendidikan itu bukan sekadar bangku
sekolah. Ia adalah wajah masa depan bangsa.
Sumber: Lapsing RDPU Komisi X DPR RI dengan MPK dan PGM
إرسال تعليق