Oleh Sarah
Zakiyah
Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
(Naskah
ke 2)
Di tengah dunia yang berubah begitu cepat,
sistem pendidikan dituntut untuk mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Begitu pula dengan pendidikan Islam di Indonesia. Di satu sisi, ia adalah
bagian dari warisan peradaban yang luhur, namun di sisi lain, ia hidup di
tengah struktur kebijakan nasional yang terus berkembang dan sering kali tidak
sepenuhnya selaras dengan nilai-nilai yang menjadi landasannya. Maka,
pertanyaan penting yang perlu kita ajukan hari ini adalah: ke mana arah
pendidikan Islam akan dibawa di tengah derasnya perubahan kebijakan dan
dinamika sosial yang kompleks?
Pendidikan Islam tidak sekadar sebuah
sistem formal yang memuat mata pelajaran agama. Lebih dari itu, ia mengemban
misi membentuk manusia yang utuh—berilmu dan berakhlak, cerdas secara
intelektual sekaligus kuat secara spiritual. Visi besar ini membutuhkan
dukungan kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi
juga berpihak pada nilai-nilai inti pendidikan Islam itu sendiri. Sayangnya,
dalam praktiknya, kita masih sering menyaksikan ketidakseimbangan antara apa
yang dicita-citakan dan apa yang dijalankan.
Banyak lembaga pendidikan Islam, khususnya
madrasah dan pesantren, menghadapi tantangan struktural yang berulang:
keterbatasan anggaran, ketimpangan akses teknologi, hingga tekanan standar
nasional yang kadang kurang akomodatif terhadap kekhasan kurikulum berbasis
nilai-nilai keislaman. Dalam konteks ini, pendidikan Islam acapkali berada
dalam posisi menyesuaikan diri dengan sistem yang lebih besar, alih-alih diberi
ruang untuk mengembangkan pendekatan yang sesuai dengan karakter dan ruhnya
sendiri.
Pertanyaannya: apakah kita sedang
membangun sistem pendidikan Islam yang mandiri dan berbasis nilai, atau justru
melanggengkan sistem yang sekadar menjadikan pendidikan Islam sebagai pelengkap
formal dari kebijakan nasional?
Contoh paling nyata terlihat dalam isu kurikulum. Sering kali integrasi
antara ilmu agama dan ilmu umum dilakukan secara administratif, bukan
epistemologis. Nilai-nilai Islam disisipkan ke dalam materi pelajaran umum
tanpa dialog mendalam antara disiplin ilmu. Akibatnya, siswa belajar dua hal
yang terpisah, bukan satu kesatuan yang menguatkan visi tauhid. Pendidikan
menjadi terfragmentasi, bukan menyatu dalam visi membentuk manusia yang
seimbang dan kontributif bagi masyarakat.
Kita juga melihat bagaimana
program-program modernisasi pendidikan seperti digitalisasi, manajemen mutu,
dan asesmen nasional masuk ke sekolah-sekolah Islam tanpa pendekatan yang
kontekstual. Bukannya memperkuat, kebijakan ini kadang justru memaksa lembaga
Islam untuk mengikuti pola umum tanpa mempertimbangkan kebutuhan khas mereka.
Padahal, jika nilai-nilai pendidikan Islam dihidupkan secara kontekstual dan
progresif, lembaga Islam justru bisa menjadi pelopor dalam menjawab krisis
moral dan identitas generasi muda hari ini.
Sayangnya, masih banyak ruang yang belum dioptimalkan. Guru-guru
pendidikan Islam belum seluruhnya dibekali pelatihan yang memadukan kemampuan
pedagogis dengan wawasan kebijakan dan literasi digital. Banyak kepala madrasah
masih berjibaku dengan laporan administratif, tanpa kesempatan mengevaluasi
arah strategis lembaganya. Dan yang paling krusial: suara lembaga pendidikan
Islam sering kali tidak terdengar dalam forum-forum penentu kebijakan
pendidikan nasional.
Lalu Pendidikan islam harusnya berfungsi
sebagai apa?
Pendidikan Islam seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai penyampai
ajaran agama, tetapi juga sebagai pusat nilai, etika, dan spiritualitas di
tengah krisis identitas global. Maka, dukungan kebijakan yang peka terhadap
nilai sangat dibutuhkan. Kita tidak cukup hanya berbicara tentang anggaran atau
perangkat lunak manajemen sekolah. Kita juga harus berbicara tentang bagaimana
visi pendidikan Islam—yang menekankan keutuhan manusia—diangkat menjadi dasar
dalam merancang masa depan pendidikan nasional.
Dalam hal ini, perguruan tinggi Islam dan para mahasiswa memiliki peran yang sangat strategis. Mereka adalah aktor intelektual yang bisa mengisi ruang kosong antara idealisme pendidikan Islam dan praktik kebijakan yang kerap pragmatis. Mahasiswa bisa menjadi jembatan antara gagasan dan implementasi. Ia tidak hanya hadir di ruang kelas, tetapi juga di ruang publik mengkritisi, memberi masukan, dan mendorong transformasi.
Sudah saatnya kita bergerak dari
narasi mempertahankan eksistensi pendidikan Islam menjadi narasi memperkuat
kontribusi pendidikan Islam dalam membangun arah pendidikan bangsa. Kita butuh
visi kebijakan yang tidak hanya mengakomodasi eksistensi pendidikan Islam,
tetapi juga memberinya ruang untuk memimpin. Karena di tengah krisis ekologi, krisis
moral, dan krisis kemanusiaan global, pendidikan Islam menawarkan nilai-nilai
yang sangat relevan: keadilan, kesederhanaan, tanggung jawab, dan cinta kepada
sesama makhluk.
Maka, pendidikan Islam bukan sekadar
“alternatif” dalam sistem pendidikan nasional. Ia adalah warisan peradaban yang
hidup, yang jika didukung dengan arah kebijakan yang tepat, dapat memberi warna
dan arah baru bagi dunia pendidikan kita. Bukan hanya untuk umat Islam, tetapi
untuk seluruh bangsa.
إرسال تعليق